Di dunia sepak bola, hasil imbang kadang terasa seperti kemenangan—dan itulah yang dirasakan Oman malam itu di Doha. Berhadapan dengan Qatar yang punya semua keuntungan sebagai tuan rumah, Oman justru tampil penuh disiplin dan berhasil menahan imbang tanpa gol. Sebuah pencapaian yang, bagi banyak orang, mungkin tak lebih dari sekadar angka 0-0, tapi bagi Oman, itu bukti nyata bahwa kemustahilan bisa dilawan.
Bertahan di Tengah Lautan Dukungan untuk Qatar

Doha, Rabu malam (8/10/2025), Stadion Jassim bin Hamad bergemuruh. Ribuan pendukung Qatar memenuhi tribun, menciptakan atmosfer yang sulit dipercaya. Tapi di tengah teriakan itu, sebelas pemain Oman berdiri tegak, berjuang melawan tekanan luar biasa dari lawan yang bukan hanya kuat di atas kertas, tapi juga diuntungkan oleh segalanya — dukungan publik, waktu istirahat lebih panjang, dan status sebagai tuan rumah.
Meski statistik tak berpihak—Qatar mencatat 70 persen penguasaan bola dan 13 tembakan—nyatanya papan skor tetap dingin: 0-0. Bagi Oman, hasil ini bukan sekadar bertahan. Ini tentang keberanian, disiplin, dan tekad untuk melawan segala ketidakadilan.
Oman di Puncak Klasemen Sementara Grup A
Siapa sangka, hasil imbang tanpa gol itu justru menempatkan Oman di posisi pertama klasemen sementara Grup A putaran keempat kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia. Mereka unggul rekor head-to-head dari Qatar, meski sama-sama mengoleksi satu poin.
Hanya juara grup yang akan lolos langsung ke babak utama Piala Dunia 2026, sementara runner-up akan melaju ke babak kelima untuk bertarung lagi dalam format kandang-tandang pada November mendatang. Artinya, satu poin yang diraih Oman ini sangat berharga — mungkin saja menjadi penentu nasib di ujung kompetisi.
Senasib dengan Indonesia: Melawan Keuntungan Tuan Rumah
Kalau kita menengok sedikit, situasi Oman ini sebenarnya mirip dengan Timnas Indonesia. Sama-sama menghadapi lawan yang bermain di kandang sendiri, sama-sama menghadapi tekanan dari ribuan suporter yang mendukung lawan. Indonesia melawan Arab Saudi, sementara Oman menghadapi Qatar — dua tim raksasa Asia yang sama-sama jadi tuan rumah putaran keempat ini.
Keduanya berada dalam posisi tidak ideal: jadwal yang ketat, waktu istirahat pendek, dan atmosfer tandang yang begitu menekan. Tapi kalau Oman bisa membuktikan diri mampu mencuri poin dari Qatar, Indonesia pun seharusnya punya alasan untuk tetap percaya diri.
Carlos Queiroz: Melawan Ketidakadilan dengan Kenyataan di Lapangan
Pelatih Oman, Carlos Queiroz, tidak bisa menyembunyikan kritiknya sebelum pertandingan. Ia tahu situasi ini tidak adil. Dalam konferensi pers, mantan asisten legendaris Sir Alex Ferguson di Manchester United itu mengungkapkan keheranannya terhadap keputusan AFC yang menunjuk Qatar dan Arab Saudi sebagai tuan rumah babak keempat.
“Kami harus bermain di kandang salah satu tim yang sedang bertanding. Mereka menempatkan tim Saudi di Saudi dan Qatar di Qatar. Kalau mereka tidak melihat ada yang salah dengan ini, siapa lagi yang akan bicara?” kata Queiroz seperti dikutip dari The Guardian.
Ia melanjutkan, “Kami bermain melawan Qatar, lalu tiga hari kemudian harus tampil lagi. Sementara Qatar punya jeda enam hari. Mereka bahkan sudah tahu hasil pertandingan dan apa yang harus dilakukan. Ini tidak seimbang.”
Namun, alih-alih larut dalam protes, Queiroz memilih menjawab di lapangan. Hasilnya? Qatar, yang di atas kertas unggul segalanya, justru dibuat frustrasi selama 90 menit.
Kontroversi Penunjukan Qatar dan Arab Saudi sebagai Tuan Rumah
Keputusan AFC untuk menunjuk Qatar dan Arab Saudi sebagai tuan rumah babak keempat memang menuai banyak kritik. Berdasarkan regulasi awal pra-Piala Dunia 2026, tuan rumah seharusnya diberikan kepada tim dengan peringkat terbaik di putaran sebelumnya.
Namun, kali ini federasi memilih berdasarkan peringkat FIFA terbaru per April 2025. Hasilnya, Qatar (peringkat 55 dunia) dan Arab Saudi (peringkat 58) menjadi tuan rumah, sementara empat peserta lain — Irak (59), Uni Emirat Arab (65), Oman (84), dan Indonesia (123) — harus bermain di kandang lawan.
Federasi Sepak Bola Irak dan UEA bahkan sempat mengajukan protes resmi kepada AFC dan FIFA, meminta agar keputusan ini ditinjau ulang. Tapi seperti biasa, keputusan sudah bulat. Qatar tetap tuan rumah. Saudi tetap tuan rumah. Sisanya harus menerima kenyataan.
Oman Menjawab dengan Hasil di Lapangan
Yang menarik, Queiroz dan anak asuhnya tidak menjadikan situasi ini sebagai alasan untuk menyerah. Justru sebaliknya, mereka menjadikannya bahan bakar motivasi.
Qatar tampil dominan dengan permainan cepat khas Lopetegui. Tapi Oman bermain cerdas—tidak gegabah, disiplin di lini belakang, dan memanfaatkan setiap peluang untuk melakukan serangan balik berbahaya.
Dalam 90 menit pertandingan, Qatar memang punya lebih banyak peluang, tapi ketajaman mereka tumpul. Dari 13 tembakan, hanya dua yang tepat sasaran. Oman? Hanya enam tembakan sepanjang laga, dan satu di antaranya mengancam serius lewat sepakan Thani Al-Rushaidi dari luar kotak penalti pada menit ke-65.
Julen Lopetegui mencoba mengubah keadaan dengan memasukkan Abdulaziz Hatem di babak kedua, berharap bisa menambah agresivitas. Tapi yang terjadi, Qatar justru semakin frustrasi. Beberapa peluang emas — seperti sundulan Pedro Miguel di menit ke-77 dan tembakan Akram Afif di menit ke-49 — melenceng tipis dari gawang.
Konsistensi Oman yang Tak Bisa Diremehkan
Kalau kamu berpikir hasil imbang ini cuma kebetulan, kamu salah besar. Oman memang sedang dalam performa luar biasa. Sebelum laga ini, mereka hanya kalah satu kali dari 10 pertandingan terakhir di waktu normal. Salah satu kemenangan paling berkesan bahkan terjadi di Piala Teluk Arab 2024, ketika mereka menumbangkan Qatar 2-1.
Konsistensi itu jadi bukti bahwa Oman bukan sekadar tim kecil yang beruntung. Mereka tim dengan rencana jelas, mental baja, dan pelatih berpengalaman yang tahu bagaimana bertahan hidup di tengah tekanan.
Dari Doha untuk Dunia: Pesan dari Oman
Hasil ini bukan hanya soal satu poin di klasemen. Ini tentang pesan yang lebih besar: bahwa keajaiban bisa terjadi kalau kamu menolak untuk menyerah.
Oman datang ke Doha tanpa status unggulan, tanpa dukungan mayoritas, bahkan dengan waktu istirahat yang lebih sedikit. Tapi mereka pulang dengan kepala tegak. Mereka membuktikan bahwa dalam sepak bola, hasil bukan selalu tentang siapa yang punya bola lebih banyak, tapi siapa yang punya tekad lebih kuat.
Dan mungkin, di sisi lain, apa yang dilakukan Oman malam itu bisa jadi inspirasi buat negara lain—termasuk Indonesia. Bahwa tidak ada kata mustahil selama peluit akhir belum berbunyi.
Julen Lopetegui dan Kegagalan Qatar Memaksimalkan Keunggulan
Bagi Qatar, hasil ini tentu terasa seperti kekalahan. Di atas kertas, mereka unggul segalanya: pemain berpengalaman, kualitas individu, bahkan faktor kandang. Tapi kenyataannya, semua itu tidak menjamin kemenangan.
Julen Lopetegui, pelatih asal Spanyol yang pernah menukangi Real Madrid dan timnas Spanyol, mencoba berbagai cara—rotasi, pergantian taktik, hingga serangan dari sayap. Namun, Oman terlalu solid. Setiap serangan kandas di kaki para pemain bertahan seperti Faiyz Al-Rusheidi dan Mohammed Al-Musallami.
Qatar bermain cepat, tapi terburu-buru. Oman bermain sabar, dan itu membuat perbedaan besar. Saat peluit panjang berbunyi, wajah para pemain Qatar menggambarkan satu hal: frustrasi. Sementara para pemain Oman tersenyum puas—bukan karena menang, tapi karena berhasil membungkam segala keraguan.
Menanti Laga Berikutnya: Peluang Masih Terbuka
Dengan satu poin ini, Oman masih punya peluang besar untuk melangkah lebih jauh. Mereka tahu jalan menuju Piala Dunia 2026 masih panjang, tapi hasil di Doha bisa jadi batu loncatan besar.
Bagi Queiroz, ini bukan tentang statistik, tapi tentang mentalitas. Ia pernah membawa Iran ke Piala Dunia dua kali, dan kali ini, dia berusaha mengulang kisah serupa bersama Oman. Dan siapa tahu, jika mereka terus bermain seefisien ini, dunia bisa kembali menyaksikan keajaiban dari Timur Tengah.
Sumber:Kompas












