JAKARTA — Ada momen-momen dalam hidup yang rasanya seperti adegan film thriller: tegang, penuh ketidakpastian, dan meninggalkan jejak panjang di belakangnya. Begitulah kira-kira gambaran yang mengiringi hancurnya rumah milik anggota DPR nonaktif, Ahmad Sahroni, di Kebon Bawang, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Hari ini, bangunan itu tak lebih dari tumpukan puing yang tercecer, jadi saksi bisu dari kisah yang jauh lebih kelam dari sekadar beton yang dirobohkan.
Dan seperti biasa, mari kita bahas semuanya secara jujur, apa adanya, dan tetap santai—karena cerita ini cukup berat tanpa perlu dibuat lebih tegang lagi.
Eksklusif di Lokasi: Rumah yang Kini Tak Lebih dari Puing
Saat Kompas.com memantau lokasi pada Jumat (14/11/2025), suasananya hampir seperti lokasi pembangunan proyek besar.
Bukan karena sedang membangun, tetapi justru menghabiskan sisa bangunan itu sampai tak bersisa.
Dua ekskavator kuning terlihat sibuk mengais, mengangkat, dan menggusur tumpukan puing. Kayu patah, besi bengkok, batu pecah—bahkan pipa paralon yang pernah jadi bagian penting dari bangunan—semuanya kini berserakan hingga ke badan jalan.
Debu berterbangan setiap kali lengan ekskavator menggerus sisa bangunan. Truk-truk besar datang dan pergi, memuat reruntuhan sedikit demi sedikit, seperti mengangkut kenangan pahit dari masa lalu.
Di tengah hiruk-pikuk itu, tampak beberapa pekerja mengenakan baju partai berwarna biru bertuliskan nama Ahmad Sahroni. Mereka mengatur jalannya mobil truk, sesekali menyiramkan air untuk menekan debu yang beterbang.
Rumah itu kini hanya tinggal cerita.
Pembongkaran Dimulai Senin: Lahan Sudah Kosong Sejak Awal
Abdullah, salah satu pekerja di lokasi, memberikan sedikit gambaran tentang proses pembongkaran.
“Mulai dari tanggal 10,” katanya singkat mengenai awal pekerjaan.
Yang menarik, ketika para pekerja datang pertama kali, rumah itu sudah dalam keadaan kosong melompong.
“Saya masuk ke sini udah tinggal beton aja. Sudah enggak ada barang,” jelasnya.
Bayangkan: sebuah rumah seluas 400 meter persegi, yang biasanya dipenuhi barang, furnitur, dan memori penghuni—tapi ketika dibongkar, ia sudah kosong. Seolah-olah jejak kehidupan di dalamnya sudah disapu bersih lebih dulu.
Hingga saat ini, Ahmad Sahroni belum memberikan penjelasan resmi mengenai alasan pembongkaran rumah tersebut. Yang jelas, bangunan itu bukan lagi tempat tinggal, melainkan simbol dari babak kelam yang pernah ia alami.
Kisah Kelam Penjarahan: Trauma yang Tak Mudah Hilang

Sekilas, puing-puing di lokasi mungkin tampak hanya sebagai sisa fisik bangunan. Tapi di balik itu semua, ada cerita yang jauh lebih mencekam.
Rumah ini sebelumnya menjadi pusat perhatian setelah dijarah massa besar-besaran pada akhir Agustus lalu. Peristiwa itu tak hanya merusak harta benda—tetapi juga hampir merenggut nyawa sang pemilik.
Dalam acara doa bersama pada Minggu (2/11/2025), Sahroni bercerita secara langsung bagaimana ia berjuang menyelamatkan diri di rumahnya sendiri. Cerita yang ia sampaikan saat itu membuat siapa pun yang mendengarnya merinding.
Awalnya, Sahroni memilih berlindung di atas plafon rumah. Tapi takdir berkata lain—plafonnya tidak kuat menahan bobot tubuhnya.
“Plafonnya enggak kuat, saya jatuh. Akhirnya, plafonnya saya hancurin sekalian,” ungkapnya.
Setelah jatuh, ia berusaha mencari perlindungan dan berpindah ke kamar mandi. Di ruang sempit itulah ia duduk, menunggu, berdoa, dan pasrah pada apa pun yang terjadi.
“Saya satu jam pertama duduk, bapak ibu. Sudah berserah diri kepada Allah SWT. Kalaupun hari itu meninggal, saya ikhlas.”
Bayangkan situasinya: di luar, massa mengamuk. Di dalam kamar mandi, seorang politikus yang biasanya tampil tegar terpaksa menunggu nasib di tangan situasi yang sama sekali tak bisa ia kendalikan.
Pelarian yang Mendebarkan: Melompat ke Rumah Tetangga
Untungnya, malam hari membawa secercah harapan. Dalam kondisi penuh ketakutan dan kelelahan, Sahroni akhirnya berhasil keluar dari rumah itu.
Ia melompat ke rumah tetangganya, Pak Haji Dhani, yang membuka pintu dan memberikan perlindungan.
“Saya ucapkan terima kasih buat Pak Haji Dhani dan istri yang telah menerima saya… saya lompat dari belakang ke rumahnya beliau,” kata Sahroni dalam acara tersebut.
Keselamatan itu datang dari tempat yang dekat—dari tetangga yang peduli, ketika rumah sendiri tak lagi bisa melindungi.
Ketika Puing Bukan Sekadar Puing: Babak yang Ditutup dengan Berat Hati
Hari ini, cerita menegangkan itu ikut “terkubur” bersama tumpukan puing di Kebon Bawang. Ekskavator meratakan beton, tetapi trauma dan pengalaman yang tertinggal mungkin butuh waktu jauh lebih lama untuk diratakan oleh waktu.
Pembongkaran rumah ini ibarat penutup dari salah satu bab paling gelap dalam hidup Ahmad Sahroni. Sebuah rumah yang dulu berdiri megah, kini runtuh—bukan hanya oleh alat berat, tapi oleh peristiwa luar biasa yang terjadi sebelumnya.
Tidak ada pernyataan resmi, tidak ada klarifikasi panjang. Hanya tindakan: merobohkan, membersihkan, melupakan.
Atau setidaknya, mencoba untuk melupakan.
Penutup: Sebuah Halaman yang Ditutup, Meski Bekasnya Masih Terasa
Kadang sebuah bangunan runtuh bukan karena usianya, bukan karena strukturnya, tetapi karena beban cerita yang terlalu berat untuk tetap dipertahankan.
Itulah yang terjadi pada rumah Ahmad Sahroni di Tanjung Priok.
Dari penjarahan yang brutal, pelarian yang dramatis, hingga puing-puing yang kini menutupi halaman pekarangan—semuanya menyisakan satu pesan: ada kejadian-kejadian yang tidak cukup hanya diselesaikan dengan pembongkaran bangunan. Ada luka yang butuh waktu jauh lebih lama untuk pulih.
Rumah itu kini bersih, rata dengan tanah.
Tapi kisahnya? Tidak akan mudah hilang begitu saja.













