Berita  

SERUAN BOIKOT STARBUCKS DI NEW YORK: ZOHRAN MAMDANI ANGKAT SUARA DI TENGAH AKSI MOGOK BARISTA

Menjelang pergantian kepemimpinan di New York City, ada satu isu yang tiba-tiba menghangat dan menarik sorotan publik. Zohran Mamdani — wali kota terpilih yang wajahnya makin sering muncul di media sosial — mendadak tampil dengan seruan yang cukup menggemparkan: boikot Starbucks.

Bukan tanpa alasan. Mamdani menegaskan ajakannya itu sebagai bentuk solidaritas terhadap ribuan barista Starbucks yang memilih turun ke jalan dan melakukan aksi mogok nasional. Ketegangan antara serikat pekerja dan manajemen Starbucks terkait kebuntuan negosiasi kontrak menjadi pemicu utama dari gelombang protes tersebut.

Mari kita mengupas lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi, dalam gaya percakapan santai ala Anderson Cooper—tapi sepenuhnya dalam bahasa Indonesia yang renyah dan mudah dicerna.

Gelombang Aksi Mogok: Ketika Barista Memilih Diam Tidak Lagi Menjadi Opsi

Bayangkan begini: Red Cup Day — hari promosi terbesar Starbucks setiap tahun — tiba. Biasanya, toko penuh, antrean mengular, pelanggan mengincar gelas edisi liburan gratis yang selalu bikin heboh. Tapi tahun ini? Suasana berubah drastis.

Pada Kamis, 13 November 2025, ribuan pekerja Starbucks memilih melakukan mogok nasional. Tidak sehari, bukan pula beberapa jam. Mereka menyebut ini aksi mogok tanpa batas waktu.

Mereka turun tangan karena merasa pembahasan kontrak semakin mandek, dan tuntutan mereka soal praktik ketenagakerjaan masih belum mendapat tanggapan yang dianggap adil.

Serikat pekerja, Starbucks Workers United, yang mewakili sekitar 9.000 dari lebih dari 200.000 barista Starbucks, menuduh manajemen perusahaan menolak melakukan negosiasi yang transparan dan layak. Dalam kampanye dan unggahan mereka, serikat dengan lantang menyatakan bahwa aksi mogok ini bisa melebar bila perusahaan tetap tak mau bergeser dari posisinya.

Starbucks, tentu saja, punya versi mereka sendiri. Mereka menyebut tuduhan tersebut tidak masuk akal, dan menyatakan telah memberikan “pekerjaan terbaik di ritel”—dengan rata-rata upah 19 dolar AS per jam atau sekitar Rp318 ribu. Jika memasukkan tunjangan tambahan, perusahaan mengklaim nilainya setara dengan 30 dolar AS per jam.

Namun, angka-angka itu tidak cukup meredam kekecewaan pekerja.

Zohran Mamdani Turun Tangan: Seruan Boikot yang Menggema

Di tengah panasnya situasi ini, Zohran Mamdani ikut suara. Dengan nada tegas namun tetap memberikan ruang bagi solidaritas, ia mengunggah pesan lewat platform X:

“Pekerja Starbucks di seluruh negeri sedang melakukan mogok atas pelanggaran praktik ketenagakerjaan, memperjuangkan kontrak yang adil… Selama pekerja masih mogok, saya tidak akan membeli Starbucks, dan saya meminta Anda bergabung bersama kami. No contract, no coffee.”

Gaya penyampaiannya lugas, tanpa basa-basi, mirip seperti ketika seorang teman dekat mengingatkan kita soal hal penting. Dan bagi banyak pendukungnya, ajakan itu terasa sebagai perpanjangan dari komitmennya selama kampanye—di mana ia sering menyoroti isu pekerja, layanan publik, hingga kebijakan pro-rakyat seperti bus gratis dan pembekuan sewa.

Seruan boikot dari seorang wali kota terpilih jelas bukan hal kecil. Ini bukan sekadar unggahan media sosial. Ini adalah sinyal kuat bahwa Mamdani melihat isu perburuhan sebagai salah satu prioritas politiknya.

Red Cup Day yang Tak Lagi ‘Merah Meriah’

Untuk memahami betapa strategisnya aksi mogok ini, kita harus tahu konteks Red Cup Day. Ini bukan hari biasa bagi Starbucks. Ini ibarat momen emas, hari panen, titik penjualan tertinggi yang menjadi magnet tahunan bagi pelanggan.

Biasanya, toko dipenuhi aroma kopi, suara mesin espresso, dan pelanggan yang berlomba mendapatkan gelas edisi spesial. Tapi aksi mogok ini membuat ritme tahunan itu tersendat. Meski Starbucks mengklaim 99,9 persen gerainya tetap buka, kenyataannya banyak gerai yang beroperasi dengan jumlah pekerja minim dan berjalan jauh di bawah kapasitas normal.

Tahun sebelumnya, aksi mogok pada Red Cup Day membuat sekitar 60 gerai harus tutup sementara. Dan tahun ini, serikat pekerja menilai aksi serupa bisa berdampak lebih besar.

Tidak mengherankan bila momen ini kemudian menjadi simbol penting dalam pertarungan panjang antara barista dan manajemen.

Menyelisik Apa yang Memicu Perselisihan

Jika kita tarik benang merahnya, inti polemik ini sebenarnya berkisar pada tiga hal:

1. Kebuntuan Negosiasi Kontrak

Serikat pekerja menuduh Starbucks sengaja memperlambat negosiasi. Mereka merasa perusahaan mengulur waktu dan enggan memberikan jaminan kondisi kerja yang lebih baik.

2. Tuduhan Pelanggaran Praktik Ketenagakerjaan

Lebih dari 1.000 pengaduan telah dilayangkan ke National Labor Relations Board. Jumlah yang masif ini menandai kesenjangan serius antara sistem kerja yang diinginkan serikat dan kebijakan yang diterapkan perusahaan.

3. Penutupan Gerai Tanpa Pemberitahuan

Starbucks dikritik karena menutup ratusan gerai hanya dengan pemberitahuan beberapa hari, termasuk 59 gerai yang telah berserikat. Serikat menilai langkah ini sebagai bentuk tekanan terhadap gerakan buruh.

Aksi mogok yang berlangsung saat ini merupakan yang keempat sejak 2023. Dan yang ketiga sejak Brian Niccol menjadi CEO pada 2024. Ini menunjukkan bahwa konflik antara perusahaan dan serikat pekerja bukan sekadar badai sesaat — ini adalah gelombang besar yang belum mereda.

Dinamika Politik Baru New York di Era Mamdani

Seruan boikot dari seorang wali kota terpilih bukan hanya aksi spontanitas. Ini mencerminkan bagaimana Mamdani menggunakan kekuatan politik barunya untuk memperjuangkan isu yang ia pandang penting.

Saat kampanye, Mamdani membangun reputasi sebagai sosok yang berpihak pada pekerja, kelas menengah, dan keluarga yang membutuhkan dukungan layanan publik. Maka, tak heran jika ia merasa perlu bersuara lantang ketika ratusan barista memilih mogok.

Bagi sebagian rakyat New York, ini menjadi angin segar. Seorang pemimpin yang tidak hanya bicara soal kebijakan, tetapi juga tak segan turun ke isu konkret yang menyentuh kehidupan pekerja sehari-hari.

Starbucks vs Serikat Pekerja: Siapa yang Akan Bergeser Lebih Dulu?

Starbucks, sebagai perusahaan raksasa global dengan citra modern dan pekerja muda yang energik, kini berada dalam sorotan. Mereka berulang kali menyatakan telah menawarkan kondisi kerja yang kompetitif. Namun, serikat pekerja merasa sebaliknya.

Dalam pertarungan seperti ini, pertanyaan pentingnya adalah: siapa yang akan mengambil langkah awal untuk berdamai?

Jika Starbucks tetap pada sikapnya, aksi mogok bisa memperluas dampaknya. Bila serikat pekerja memilih memperkeras posisi, gelombang mogok mungkin tak hanya melanda New York atau beberapa kota saja—melainkan bisa menjadi fenomena nasional.

Di tengah situasi itu, suara politisi berpengaruh seperti Mamdani bisa menjadi katalis. Dukungan publik bisa berubah drastis jika para pemimpin kota ikut turun ke gelanggang.

Solidaritas Publik: Tren Baru yang Mulai Muncul

Publik Amerika, terutama generasi muda, mulai lebih peka terhadap isu buruh dan kesejahteraan pekerja. Kita bisa melihatnya dari meningkatnya dukungan terhadap gerakan serikat di sektor ritel, teknologi, hingga pelayanan makanan.

Karena itu, seruan “No contract, no coffee” yang dikumandangkan Mamdani bukan hanya slogan. Ia berpotensi menjadi gerakan sosial mini — yang secara tidak langsung memberi tekanan moral pada Starbucks untuk melangkah lebih cepat.

Arah Pergeseran di Dunia Ritel dan Buruh

Kasus Starbucks ini sebenarnya mencerminkan dinamika besar yang tengah terjadi di berbagai belahan Amerika. Industri ritel dan layanan makanan, yang selama bertahun-tahun mengandalkan pekerja bergaji rendah dengan tuntutan kerja tinggi, kini menghadapi tuntutan baru.

Pekerja menuntut upah layak, jaminan kesehatan, perlindungan kerja, hingga kejelasan jalur karier. Dan gerakan ini tidak lagi dianggap isapan jempol. Keberanian mereka melakukan mogok nasional pada hari paling sibuk perusahaan menunjukkan betapa besar tekad yang mereka miliki.

Penutup: Ketika Sebuah Cangkir Kopi Menjadi Simbol Perjuangan

Aksi mogok Starbucks kali ini bukan hanya tentang kopi, gelas merah, atau promosi musiman. Ini adalah cerita tentang ribuan pekerja yang ingin dihargai lebih baik, tentang perusahaan besar yang diuji kebijakannya, dan tentang seorang wali kota terpilih yang memilih berpihak kepada pekerja.

Seruan Mamdani untuk memboikot Starbucks mungkin terlihat sederhana. Tapi jika kita lihat lagi, sesungguhnya itu adalah pesan simbolik tentang solidaritas, keberanian, dan harapan bahwa perusahaan besar bisa duduk bersama pekerjanya untuk menciptakan masa depan yang lebih adil.

Pada akhirnya, apakah Anda memilih mendukung aksi mogok atau tetap membeli kopi pagi Anda, itu adalah pilihan pribadi. Namun, satu hal yang pasti: isu ini telah membuka percakapan penting tentang bagaimana kita memperlakukan pekerja, dan bagaimana suara mereka layak mendapat tempat di meja negosiasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *