Laporan Dugaan Korupsi Mandek, FKMS Bawa Persoalan ke Kejaksaan Agung
Bayangkan begini: masyarakat sudah susah payah mengumpulkan data, menulis laporan, mengirimkan berkas resmi, berharap ada tindakan nyata terhadap dugaan korupsi. Namun setelah itu? Sepi. Tidak ada kejelasan. Itulah kurang lebih gambaran kekecewaan yang disuarakan Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) terhadap Bidang Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim).
FKMS merasa laporan-laporan dugaan korupsi yang mereka sampaikan ke Kejati Jatim tidak ditindaklanjuti secara jelas. Alih-alih mendapat perkembangan, mereka justru merasa laporan itu mandek. Ujungnya, mereka melangkah lebih jauh: mengadukan penyidik Pidsus Kejati Jatim ke Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Langkah ini bukan langkah kecil. Selain ke Kejaksaan Agung, pengaduan tersebut juga ditembuskan ke Komisi Kejaksaan (Komjak) dan Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejagung RI. Artinya, FKMS tidak main-main. Mereka ingin persoalan ini benar-benar diperhatikan.
Sekjen FKMS, Moh Yusuf, menyampaikan unek-unek mereka secara lugas. Dia menyebut pihaknya sudah beberapa kali melaporkan dugaan korupsi ke Kejati Jatim, tetapi tidak melihat tindak lanjut yang mereka anggap jelas dan memadai. Karena itu, mereka memutuskan membawa persoalan ini ke tingkat yang lebih tinggi.
FKMS Surati Jaksa Agung: Empat Kasus Dugaan Korupsi Jadi Sorotan
Semua keluhan itu tidak hanya disampaikan lewat pernyataan lisan. FKMS membungkus pengaduannya dalam sebuah surat resmi bernomor 945.91/SK-FKMS-XII-2025 tertanggal 4 Desember 2025. Surat tersebut ditujukan kepada Jaksa Agung RI cq. Jampidsus Kejagung RI.
Di dalam surat itu, FKMS merinci sedikitnya empat laporan dugaan korupsi yang menurut mereka tidak mendapatkan tindak lanjut yang jelas dari Kejati Jatim. Ini bukan sekadar klaim umum, tetapi sudah disusun dalam bentuk kronologi laporan lengkap dengan tanggal dan objek kasusnya.
Keempat laporan itu tersebar di beberapa sektor: kesehatan, infrastruktur gedung pemerintah, proyek sistem penyediaan air minum, hingga pajak barang dan jasa tertentu atas tenaga listrik di daerah. Mari kita bedah satu per satu, seperti yang dipaparkan Yusuf.
Dugaan Korupsi Proyek Layanan Penyakit Jantung di RSUD Pamekasan
Kasus pertama yang disebut FKMS adalah Proyek Layanan Penyakit Jantung RSUD dr. H. Slamet Martodirdjo Pamekasan Tahun 2023. Laporan dugaan korupsi terkait proyek ini disampaikan FKMS ke Kejati Jatim pada 20 Januari 2025.
Dalam laporan tersebut, FKMS menyoroti pembangunan Cath Lab dengan nilai sekitar Rp 1,8 miliar. Menurut mereka, pembangunan ini tidak selesai tepat waktu. Bagi FKMS, keterlambatan itu bukan sekadar masalah teknis, tetapi bagian dari dugaan adanya persoalan yang lebih serius dalam pengelolaan proyek.
Yusuf juga menyebut adanya dugaan markup dalam pengadaan Cath Lab tersebut. Nilainya tidak kecil. Dia menyebut angka sekitar Rp 3 miliar sebagai potensi kerugian negara yang mereka perkirakan dalam laporan.
Di sini, FKMS menegaskan bahwa yang mereka suarakan adalah dugaan, bukan vonis. Namun bagi mereka, dugaan itu cukup kuat untuk layak diproses lebih jauh oleh aparat penegak hukum. Apa yang mereka harapkan? Paling tidak, ada pemeriksaan, klarifikasi, dan langkah-langkah penegakan hukum yang terlihat. Bukan diam.
Proyek Rehab Gedung Dinas Perkebunan Jatim: Dugaan Surat Palsu dan Persengkongkolan Lelang
Lanjut ke kasus kedua. FKMS melaporkan dugaan korupsi Proyek Rehab Gedung Kantor Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2024. Laporan ini disampaikan pada 23 April 2025.
Nilai kontrak proyek ini disebut sekitar Rp 10,9 miliar, dengan pemenang tender PT Viona Kencana Permai. Di sinilah FKMS mulai menyoroti sejumlah hal yang menurut mereka bermasalah.
Yusuf menyebut bahwa proyek tersebut diduga melibatkan pelanggaran Pasal 263 ayat 2 KUHP, yang mengatur tentang penggunaan surat palsu. Selain itu, FKMS juga menilai ada indikasi persengkongkolan lelang dalam proses pengadaan proyek tersebut.
Menurut keterangan yang disampaikan Yusuf, kontraktor pelaksana proyek dinilai gagal memenuhi kewajiban kontrak hingga akhirnya kontrak diputus di tengah jalan. Tidak berhenti di situ, dia juga menyebut bahwa jaminan pelaksanaan proyek tersebut diduga bersifat fiktif.
Dalam kacamata FKMS, rangkaian dugaan ini bukan hal sepele. Mereka melihat adanya potensi pelanggaran serius yang seharusnya bisa ditelusuri lebih jauh oleh penyidik Pidsus Kejati Jatim. Namun, lagi-lagi, yang mereka soroti adalah ketiadaan tindak lanjut yang jelas.
Proyek SPAM DPRKPCK Jatim: Dugaan Kerugian Negara Miliaran Rupiah
Kasus ketiga yang dilaporkan FKMS menyasar Proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Cipta Karya (DPRKPCK) Jawa Timur Tahun Anggaran 2024.
Nilai total proyek ini disebut sekitar Rp 39,3 miliar untuk 27 paket pekerjaan. Menurut paparan Yusuf, FKMS menduga adanya kerugian negara minimal Rp 5,4 miliar hingga maksimal Rp 6,5 miliar dalam pelaksanaan proyek tersebut.
Salah satu proyek yang disorot dalam rangkaian SPAM ini adalah SPAM Singosari. Meski tidak diurai secara rinci dalam keterangan yang disampaikan, proyek tersebut menjadi salah satu contoh yang mereka angkat dalam laporan sebagai bagian dari dugaan kerugian negara.
Bagi FKMS, angka yang mereka sebutkan bukan sekadar hitung-hitungan kasar. Mereka menilai, nilai kerugian yang mereka duga itu cukup signifikan untuk menjadi perhatian penegak hukum. Harapannya tentu sama: agar laporan tersebut ditindaklanjuti, diperiksa, dan diproses sesuai ketentuan hukum.
Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik di Jombang: Dugaan Kerugian Rp 44 Miliar
Kasus keempat yang dilaporkan FKMS berkaitan dengan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (PBJT-TL) di Kabupaten Jombang Tahun Anggaran 2024. Laporan ini disampaikan pada 15 Agustus 2025.
Nilai dugaan kerugian negara yang disebut dalam laporan ini terbilang besar: sekitar Rp 44 miliar. Menurut Yusuf, dugaan tersebut berkaitan dengan tidak adanya proses pemungutan pajak yang semestinya mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2023.
Selain itu, Yusuf juga menyebut, dalam laporan itu FKMS menduga bahwa pihak PLN tidak menyampaikan keterangan yang sebenarnya. Sekali lagi, ini adalah dugaan yang mereka tuliskan dalam laporan resmi, bukan hasil putusan hukum. Namun, dari sudut pandang FKMS, dugaan ini cukup serius dan seharusnya mendapat perhatian khusus.
Dalam konteks pajak daerah, angka Rp 44 miliar bukan angka kecil. Bagi masyarakat, pajak adalah instrumen penting untuk membiayai pembangunan. Jadi wajar bila dugaan kebocoran pajak dalam jumlah besar memicu kekhawatiran.
Kekecewaan FKMS: Laporan Sudah Dikirim, Tindak Lanjut Dinilai Tidak Jelas
Empat laporan dugaan korupsi tadi menjadi dasar utama FKMS mengadukan penyidik Pidsus Kejati Jatim. Yusuf secara terbuka menyatakan bahwa mereka sudah beberapa kali melayangkan laporan, tetapi tidak melihat respons yang menurut mereka bisa disebut tindak lanjut nyata.
Bukan berarti mereka menuntut hasil instan. Namun, dalam pandangan FKMS, laporan-laporan tersebut seharusnya tidak berhenti di meja administrasi saja. Mereka berharap ada:
Informasi perkembangan penanganan,
Kejelasan apakah laporan sudah masuk tahap telaah atau penyelidikan,
Dan minimal komunikasi balik dari pihak Kejati Jatim.
Karena tidak melihat hal itu secara jelas, FKMS memilih mengadu ke Kejaksaan Agung sebagai langkah berikutnya. Dalam pernyataannya, Yusuf menguatkan kesan bahwa ini bukan aksi spontan, melainkan akumulasi kekecewaan.
Dasar Hukum yang Disebut FKMS: UU Tipikor hingga PP 43 Tahun 2018
Dalam menyampaikan kritiknya, FKMS juga menyinggung soal dasar hukum yang sebenarnya sudah dimiliki pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Yusuf menyebut ada sejumlah regulasi yang bisa dijadikan landasan kuat, mulai dari:
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
Yusuf menyayangkan bahwa di tengah sederet aturan yang jelas ini, laporan dari masyarakat sipil justru dirasa tidak mendapatkan tempat yang semestinya. Bagi mereka, regulasi yang mengatur peran serta masyarakat mestinya membuka ruang yang lebih besar bagi laporan-laporan seperti yang mereka ajukan.
Dengan kata lain, FKMS merasa sudah menjalankan bagian peran mereka sebagai masyarakat sipil. Namun, mereka mempertanyakan sejauh mana aparat penegak hukum menjalankan perannya dalam menindaklanjuti laporan tersebut.
Respons Kejati Jatim: Kasi Penkum Belum Menanggapi
Di sisi lain, upaya untuk mendapatkan klarifikasi dari pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tampaknya belum membuahkan hasil. Kasi Penerangan Hukum (Penkum) Kejati Jatim, Windhu Sugiarto, disebut belum memberikan respons saat dikonfirmasi.
Upaya konfirmasi itu dilakukan melalui pesan WhatsApp dan telepon pada Kamis (4/12) dan Jumat (5/12), tetapi hingga saat itu belum ada jawaban yang diterima. Artinya, dari sudut pemberitaan, baru satu sisi yang bersuara secara lengkap, yakni FKMS. Pihak Kejati Jatim masih bungkam.
Kondisi seperti ini membuat ruang publik diisi oleh narasi yang didominasi pihak pelapor. Padahal, dalam isu-isu krusial seperti dugaan korupsi, banyak pihak tentu ingin mendengar juga penjelasan, sanggahan, atau minimal klarifikasi dari pihak yang dilaporkan.
Peran Masyarakat Sipil dalam Pengawasan: FKMS Minta Suara Mereka Didengar
Dari uraian yang disampaikan Yusuf, terlihat jelas bahwa FKMS menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat sipil yang berperan aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan penggunaan anggaran negara maupun daerah.
Mereka menggunakan jalur resmi: mengajukan laporan tertulis, mencantumkan waktu dan objek perkara, merinci dugaan kerugian negara, serta mengirimkan laporan tersebut ke lembaga penegak hukum yang berwenang. Langkah mengadu ke Kejaksaan Agung hanya satu kelanjutan ketika mereka merasa laporan di tingkat provinsi tidak cukup digubris.
Secara garis besar, pesan yang ingin mereka sampaikan sederhana:
Jika masyarakat sudah diberi ruang untuk berperan dalam pelaporan dugaan korupsi, maka laporan-laporan itu juga seharusnya tidak diabaikan.
Harapan FKMS: Ada Tindak Lanjut Jelas, Bukan Hanya Arsip Laporan
Dari semua pernyataan Yusuf, satu garis merahnya adalah harapan akan adanya tindak lanjut nyata. Mereka tidak sekadar ingin laporannya diterima secara administratif, tetapi juga diolah, ditelaah, dan jika memang cukup bukti, ditingkatkan ke proses hukum.
Empat kasus yang mereka angkat bukan kasus kecil dari sisi nilai. Ada yang menyentuh miliaran rupiah, baik dalam bentuk dugaan markup, proyek yang tidak selesai tepat waktu, diduga lelang bermasalah, hingga potensi kebocoran pajak. Semua itu, dalam pandangan FKMS, adalah persoalan serius.
Mereka juga menegaskan bahwa laporan-laporan tersebut disusun berdasarkan dugaan yang mereka nilai cukup beralasan. Dengan membawa persoalan ini ke Kejaksaan Agung, FKMS ingin memastikan bahwa suara mereka tidak berhenti di satu meja saja.
Menanti Penjelasan dan Langkah Tegas dari Penegak Hukum
Hingga titik ini, ada dua hal yang jelas:
FKMS telah merinci empat laporan dugaan korupsi dan merasa tidak ada tindak lanjut yang jelas dari Kejati Jatim.
Kejati Jatim, melalui Kasi Penkum, belum memberikan respons atas konfirmasi yang disampaikan terkait pengaduan ini.
Situasi seperti ini tentu menyisakan tanda tanya, bukan hanya bagi FKMS, tetapi juga bagi publik yang mengikuti isu ini. Apakah laporan-laporan itu sebenarnya sudah diproses secara internal? Apakah masih dalam tahap telaah? Apakah ada hal-hal teknis yang belum disampaikan ke pelapor? Semua itu masih belum terjawab.
Yang pasti, FKMS sudah melangkah ke jenjang yang lebih tinggi dengan mengadukan penyidik Pidsus Kejati Jatim ke Kejaksaan Agung. Langkah itu sekaligus menjadi sinyal bahwa masyarakat sipil tidak ingin peran mereka dalam pengawasan hanya sebatas formalitas.
Bagi publik, informasi seperti ini bukan sekadar deretan angka dan nama proyek. Ini menyangkut bagaimana penegakan hukum berjalan, bagaimana laporan masyarakat dianggap, dan bagaimana kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum dikelola.
Untuk saat ini, bola ada di tangan Kejaksaan. Publik dan FKMS sama-sama menunggu: apakah akan ada penjelasan, klarifikasi, atau bahkan langkah hukum lanjutan terkait empat laporan dugaan korupsi yang sudah mereka suarakan sejak awal 2025 hingga pertengahan tahun itu?
Waktu yang akan menjawab, tetapi FKMS sudah memastikan satu hal: mereka tidak akan tinggal diam ketika laporan mereka dirasa tidak ditindaklanjuti.













