Berita  

Tongkonan Ka’pun Runtuh: Luka Kolektif Toraja dan Serangkaian Kejanggalan Hukum yang Mengusik Keadilan

Tongkonan Ka’pun Runtuh, Jumat, 5 Desember 2025
Tongkonan Ka’pun Runtuh, Jumat, 5 Desember 2025

TANA TORAJA — Di balik heningnya sebuah lembah di Kecamatan Kurra, Tana Toraja, berdiri sebuah pusat sejarah yang selama ratusan tahun menjadi urat nadi identitas ribuan keturunan Toraja: Tongkonan Ka’pun. Tempat ini bukan sekadar kumpulan rumah adat—ia adalah memori, garis keturunan, dan martabat yang diwariskan lintas generasi.

Tiga tongkonan berdiri kokoh saling menyanggah, ditemani enam lumbung padi serta sebuah rumah adat tua yang diyakini telah menyentuh usia tiga abad. Selama ratusan tahun, kawasan sakral ini menjadi ruang hening yang menyatukan leluhur dan anak cucunya.

Namun, kedamaian itu seketika runtuh pada Jumat, 5 Desember 2025. Tanpa pernah tercatat sebagai objek sengketa hukum, Tongkonan Ka’pun tiba-tiba rata dengan tanah. Pengadilan Negeri Makale mengeksekusi bangunan sakral ini dengan pengawalan ketat aparat kepolisian dan TNI.

Dan sejak hari itu, amarah, duka, dan tanda tanya besar membubung dari masyarakat adat Toraja.

Tongkonan: Lebih dari Rumah, Ia Adalah Identitas

Bagi masyarakat Toraja, tongkonan bukan cuma bangunan. Bukan pula sekadar warisan budaya. Ia adalah napas hidup.

Tongkonan ini identitas yang diakui dunia. UNESCO mencatatnya sebagai warisan budaya. Jika identitas ini disentuh tanpa keadilan, itu namanya pelecehan,” ujar Ketua Lembaga Adat Toraja, Benyamin Ranteallo.

Nada suaranya tegas, tapi getaran emosinya terasa. Ia menilai ada hal ganjil dalam proses yang menghancurkan tongkonan itu.

Ada dugaan mafia hukum dan mafia adat yang memanfaatkan celah,” katanya—sebuah tuduhan yang tidak main-main.

Akar Kisruh: Dari Tanete Menjalar ke Ka’pun

Kisah ini tidak muncul tiba-tiba. Akar persoalannya menjalar jauh ke masa silam—ke Tongkonan Tanete, yang berdiri sekitar sepuluh meter di selatan Ka’pun.

Perselisihan mengenai Tanete dimulai sejak 1988, lalu berkelok-kelok melintasi putusan demi putusan pengadilan.

  • Tahun 1988 dan 1994, pihak tergugat sempat menang.
  • Namun putusan kembali bergulir ke Pengadilan Negeri Makale.
  • Pada 2018, Mahkamah Agung menetapkan kemenangan keluarga Tanete secara inkrah.
  • Tahun 2024, keluarga tersebut akhirnya menyerahkan Tongkonan Tanete secara sukarela kepada penggugat.

Seharusnya—secara logika hukum—perselisihan berakhir di situ.

Namun dunia tidak selalu mengikuti logika.

Pada 2025, ketika semua pihak mengira masalah sudah selesai, eksekusi justru dilakukan terhadap Tongkonan Ka’pun—objek yang tidak pernah masuk dalam perkara apa pun.

Sebuah ironi yang sulit dicerna.

Kini, yang tersisa di lokasi hanyalah puing-puing tongkonan yang selama berabad-abad menjadi pusat sejarah keluarga besar itu.

Ini bukan soal papan dan tiang yang dirobohkan. Ini soal napas kami sebagai orang Toraja. Jika tongkonan bisa dihapus begitu saja, apa lagi yang tersisa?” ujar Benyamin, matanya menahan getir.

Kuasa Hukum Bicara: “Eksekusi Ini Sarat Kejanggalan”

Kantor Hukum HK & Associates, yang menjadi pengacara keluarga pemilik tongkonan, menyebut proses eksekusi pada 5 Desember 2025 penuh kejanggalan dan bahkan berpotensi melampaui kewenangan.

Peristiwa ini telah menimbulkan gejolak sosial, budaya, dan kemanusiaan,” kata Hendrik Kusnianto, kuasa hukum keluarga.

Menurutnya, tim kuasa hukum sudah melaporkan indikasi pelanggaran prosedur kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komnas HAM pada 4 dan 5 Desember 2025.

Laporan pertama diajukan karena ada indikasi eksekusi tetap dipersiapkan meski masih terdapat proses perlawanan di PN Makale. Eksekusi akhirnya tertunda pada hari itu—tetapi kejanggalan tetap tercium.

Namun esoknya, eksekusi benar-benar dilakukan. Dan laporan kedua pun diserahkan.

Eksekusi yang Tidak Sesuai Jadwal dan Salah Objek

Inilah deretan kejanggalan yang disorot kuasa hukum:

1. Eksekusi tidak sesuai jadwal resmi

Dalam Penetapan PN Makale Nomor W22-U10/1080/HPDT/12/2025, pelaksanaan eksekusi dijadwalkan pada 4 Desember 2025.

Tanpa pemberitahuan ulang, eksekusi tiba-tiba dilakukan keesokan harinya, 5 Desember 2025.

2. Objek eksekusi tidak sesuai perkara

Tongkonan Ka’pun tidak pernah tercantum dalam objek sengketa inkrah. Eksekusi terhadap bangunan yang bukan objek perkara berpotensi masuk kategori ultra petita—tindakan melampaui amar putusan.

3. Eksekusi dilakukan saat proses hukum lain masih berjalan

Gugatan perlawanan 222/Pdt.Bth/2025/PN Makale masih berlangsung dan belum diputus. Bahkan masih berada pada tahap replik pelawan.

Namun eksekusi tetap jalan.

4. Objek yang sudah diserahkan sukarela dieksekusi lagi

Dalam data SIPP pengadilan, objek sengketa tercatat telah diserahkan sukarela pada 5 Agustus 2024.

Tetapi objek yang sama kembali dieksekusi pada Desember 2025.

Sebuah pertanyaan besar: bagaimana mungkin objek yang sudah diserahkan dan dinyatakan selesai sengketa masih bisa dieksekusi ulang?

Kami meminta klarifikasi, tetapi tidak ada penjelasan apa pun dari PN Makale,” kata Hendrik.

Gas Air Mata, Peluru Karet, dan Kekerasan pada Warga

Kejanggalan tidak hanya terjadi pada aspek hukum dan administrasi.

Menurut kesaksian keluarga dan kuasa hukum, pelaksanaan eksekusi juga disertai tindakan represif.

  • Penggunaan gas air mata
  • Tembakan peluru karet
  • Kekerasan terhadap perempuan dan orang tua

Hendrik menyebut kondisi ini sebagai bentuk eksekusi yang “cacat administrasi, penuh konflik kepentingan, dan tidak berdasar hukum.”

Ini bukan sekadar eksekusi, ini pengabaian terhadap martabat masyarakat adat Toraja.

Desakan Investigasi Menyeluruh dan Transparan

HK & Associates kini mendesak Bawas MA dan Komnas HAM untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh terkait:

  • Dugaan pelanggaran prosedur eksekusi
  • Potensi penyalahgunaan kewenangan
  • Konflik kepentingan
  • Tindakan kekerasan berlebihan

Kami meminta agar proses hukum dilakukan secara transparan dan akuntabel, serta menghormati hak konstitusional klien kami,” kata Hendrik.

Ia menegaskan bahwa keluarga akan menempuh seluruh jalur hukum yang tersedia untuk memastikan peristiwa seperti ini tidak terulang lagi.

Kami berharap semua pihak dapat menghormati hukum sekaligus adat Toraja. Penyelesaian harus dilakukan secara adil, beradab, dan tidak mencederai nilai-nilai budaya.

Penutup: Luka yang Masih Basah

Tongkonan Ka’pun mungkin kini telah menjadi puing. Namun bagi masyarakat Toraja, luka yang ditinggalkannya masih basah—dan akan dikenang sebagai salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah adat mereka.

Karena bagi orang Toraja, tongkonan bukan sekadar rumah. Ia adalah jantung yang memompa kehidupan spiritual dan sosial masyarakatnya. Ketika jantung itu dihancurkan, yang runtuh bukan hanya bangunan… tetapi juga martabat.

Dan selama pertanyaan terbesar—mengapa tongkonan yang bukan objek perkara justru yang dihancurkan?—belum terjawab, polemik ini masih jauh dari kata selesai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *