Gelombang pro-kontra kembali menyeruak di Bali setelah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid, meminta warga Bali untuk melakukan transmigrasi ke luar pulau. Pernyataan itu memantik diskusi publik yang cukup panas, sebab transmigrasi bukan isu baru—bahkan memiliki sejarah panjang bagi masyarakat Bali.
Nusron beralasan bahwa warga Bali bisa mengelola lahan pertanian di provinsi lain, sebuah ajakan yang bagi sebagian orang terdengar sebagai peluang, namun bagi sebagian lainnya menimbulkan tanda tanya besar: mengapa Bali lagi yang disasar?
Sementara perdebatan itu berlangsung, pemerintah provinsi mulai bergerak menanggapi isu ini.
Respons Pemerintah Provinsi Bali: Masih Tahap Pendataan, Belum Ada Kebijakan
Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan ESDM Provinsi Bali, Ida Bagus Setiawan, menyampaikan bahwa pihaknya saat ini masih melakukan pendataan bersama Gubernur Bali. Fokusnya adalah melihat apakah benar warga Bali berminat mengikuti transmigrasi.
Setiawan menegaskan:
“Pak Gubernur sudah menyampaikan, bahwa tergantung ke masyarakat luas. Di luar sana ada peluang. Sekarang berminat atau tidak, perlu cek dengan kabupaten/kota.”
Artinya, pemerintah daerah tidak akan memaksakan apa pun. Bola kini ada di tangan masyarakat—mereka yang menentukan apakah transmigrasi masih relevan dengan kebutuhan hidup mereka saat ini.
Transmigrasi: Program Pusat, Peran Daerah Sebatas Fasilitator
Program transmigrasi merupakan program milik Kementerian Transmigrasi, bukan inisiatif daerah. Karena itu, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota hanya berperan sebagai fasilitator bagi warga yang berminat.
Setiawan menjelaskan, pemerintah daerah:
Menunggu arahan resmi dari kementerian,
Menyiapkan koordinasi dengan 9 kabupaten/kota di Bali,
Mengecek apakah daerah yang dulu pernah mengikuti transmigrasi ingin kembali mengajukan warganya.
Dengan kata lain, pemerintah daerah tidak bergerak tanpa instruksi pusat dan tanpa minat nyata dari warga.
Warga Bali dan Sejarah Transmigrasi: Jejak Puluhan Tahun ke Belakang
Transmigrasi bukan hal baru bagi warga Bali. Sejak era 1970–1990-an, banyak masyarakat Bali yang merantau melalui program ini ke Sulawesi, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara.
Beberapa di antaranya berhasil membangun kehidupan baru di lahan-lahan pertanian. Namun tak sedikit pula yang menghadapi tantangan:
Adaptasi budaya,
Kondisi lahan yang berbeda,
Keterbatasan fasilitas awal,
Hingga perubahan iklim yang tidak familiar.
Meski begitu, hingga kini jejak transmigrasi warga Bali masih terlihat. Ada komunitas-komunitas Bali yang menetap di berbagai daerah luar pulau, lengkap dengan tradisi dan pura yang tetap mereka rawat.
Masyarakat Bali di Luar Pulau: Masih Berjalan, Tapi Tidak Masif
Menurut Setiawan, masih ada warga Bali yang menjadi transmigran di Sulawesi dan Kalimantan. Mereka adalah bukti hidup bahwa transmigrasi bukan semata program masa lalu—tapi program yang masih berlangsung dalam skala tertentu.
Namun Setiawan menegaskan kembali bahwa transmigrasi kini bersifat sukarela, bukan instruksi yang harus diikuti.
“Kalau memang itu menjadi kebutuhan warga, kita akan optimal memfasilitasi,” ujarnya.
Dengan demikian, transmigrasi bukan paksaan, melainkan opsi yang disiapkan negara bagi warga yang ingin memperluas peluang ekonomi.
Mengapa Pernyataan Nusron Menuai Pro-Kontra?
Ajakan Nusron agar warga Bali transmigrasi ke luar pulau memantik beragam respons karena beberapa alasan:
1. Sensitivitas budaya Bali
Bali memiliki struktur sosial dan adat yang kuat. Pindah ke luar pulau bukan keputusan ringan.
2. Kesan bahwa warga Bali kelebihan penduduk
Pernyataan itu dianggap memberi kesan seolah Bali sedang mengalami tekanan demografis, padahal nuansanya lebih kompleks.
3. Isu pengelolaan lahan
Ada masyarakat yang mempertanyakan: mengapa lahan di provinsi lain justru ditawarkan kepada warga Bali? Padahal urusan agraria sering kali menjadi polemik di berbagai daerah.
4. Timing yang tak ideal
Di tengah situasi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya, ajakan transmigrasi terasa seperti kebijakan yang kurang menyentuh akar persoalan di Bali.
Maka tak heran, pernyataan ini langsung dibahas publik, dari forum resmi hingga percakapan warga di warung kopi.
Saat Pemerintah Menunggu, Publik Menimbang
Dengan belum adanya arahan resmi dari kementerian, pemerintah provinsi memilih menunggu. Di sisi lain, masyarakat Bali masih sibuk menimbang: apakah transmigrasi masih relevan sebagai solusi ekonomi dan sosial?
Apalagi konteks saat ini berbeda jauh dengan era transmigrasi beberapa dekade lalu. Warga Bali memiliki keterikatan kuat pada adat, tanah leluhur, serta mata pencaharian yang banyak bertumpu pada wisata.
Pertanyaan besar pun muncul: apakah transmigrasi sejalan dengan kebutuhan masyarakat Bali masa kini?
Penutup: Transmigrasi Bali, Antara Peluang dan Tantangan
Pernyataan Menteri Nusron telah membuka kembali diskusi lama tentang transmigrasi dan masa depannya bagi warga Bali. Ada yang melihatnya sebagai peluang untuk memperluas lahan usaha. Ada pula yang merasa bahwa ini bukan solusi jangka panjang bagi problem kesejahteraan.
Yang jelas, pemerintah provinsi bersikap hati-hati. Tidak ada ajakan wajib, tidak ada paksaan. Semua kembali kepada warga Bali—mereka yang menentukan pilihan hidupnya.
Dan seperti kata Ida Bagus Setiawan:
“Pemerintah hanya fasilitator. Kalau itu memang kebutuhan warga, kita akan dukung.”
Transmigrasi Bali kini kembali berada di persimpangan, menunggu apakah masyarakat melihatnya sebagai masa depan atau hanya sisa cerita lama.













