Berita  

Ruang Belajar  Oleh: Marlan Aufat, Mahasiswa teknik informatika Universitas Muhammadiya Maluku Utara

“Ruang kelas di perguruan tinggi dikenal sebagai tempat berpikir kritis dan adu gagasan. Mahasiswa tidak hanya duduk mendengarkan, tapi aktif menanggapi, menyanggah, bahkan berdebat dengan dosen demi memperdalam pemahaman dan memperluas perspektif. Diskusi menjadi nyawa dari pembelajaran. Namun hari ini, suasana itu perlahan menghilang. Ruang belajar justru menjadi lebih sunyi, nyaman, dan minim perbedaan pendapat. Tidak ada lagi pertentangan pikiran yang sehat antara mahasiswa dan dosen. Apakah ini tanda kemajuan atau justru kemunduran intelektual?

 

Fenomena ini bisa diamati di banyak kampus di Indonesia. Salah satunya Universitas Muhammadiyah Maluku Utara(UMMU), penulis mengamati sejak tahun 2024 terhadap beberapa fakultas, sebanyak 68% itu kebanyakan lebih memilih diam saat tidak setuju dengan dosen, dan 54% merasa bahwa membantah pikiran dosen berpotensi merugikan nilai akademik mereka, dan berpotensi tidak sopan terhadap dosen, padahal sopan santun adalah bahasa tubuh, bukan pikiran, dalam politik pikiran yang disopan santunkan adalah kemunafikan, penulis khawatir karena ini menunjukkan bahwa kebudayaan akademik kita mulai bergeser dari semangat berpikir kritis ke arah konformitas dan kepatuhan. Rabu, 5/6/2025

 

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi perubahan ini. Pertama, ketimpangan relasi kuasa dalam ruang kelas. Di banyak lingkungan akademik, dosen masih dianggap sebagai figur yang tidak boleh dibantah. Padahal, pendidikan tinggi seharusnya mengajarkan bahwa otoritas akademik juga harus terbuka terhadap kritik ilmiah. Kedua, hadirnya teknologi dan pembelajaran kecerdasan buatan(AI)membuat intelektual mahasiswa menjadi semakin menurun. Dalam kelas online, mahasiswa menjadi lebih pasif entah karena kendala teknis, rasa tidak percaya diri, atau karena dosennya sendiri tidak memberi ruang untuk dialog terbuka.

 

Ketiga, faktor budaya turut berperan. Dalam budaya Timur, terutama di Indonesia, perbedaan pendapat terhadap figur yang lebih tua atau berwenang sering dianggap tidak sopan. Hal ini membuat mahasiswa lebih memilih “mengamankan posisi” daripada mengasah daya pikir. Bahkan, sebagian dosen sendiri masih menganggap pertanyaan kritis sebagai bentuk penghinaan, bukan diskusi ilmiah.

 

Namun harus diakui, tanpa pertentangan pikiran, proses pembelajaran menjadi tidak stabil. Dalam ilmu pengetahuan, tidak ada kemajuan tanpa keberanian mempertanyakan. Sejarah mencatat bagaimana perdebatan antara Socrates dengan murid-muridnya, pertentangan ide Karl Marx dengan filsuf-filsuf lain, hingga perdebatan tajam di antara ilmuwan dan filsuf modern, telah melahirkan teori-teori besar yang membentuk dunia saat ini. Tanpa perbedaan, ilmu hanya menjadi dogma.

 

Ironisnya, di saat kita membungkam perbedaan pendapat di ruang kelas, dunia luar justru sedang menuntut generasi muda yang kritis, adaptif, dan berani menyuarakan ide. Dunia kerja, kewirausahaan, hingga riset global menghargai mereka yang mampu berpikir berbeda, bukan hanya mereka yang patuh. Jika ruang akademik kita gagal menciptakan lingkungan yang mendukung hal ini, maka kita sedang mempersiapkan lulusan yang lemah dalam menghadapi tantangan dunia nyata.

 

Oleh karena itu, sudah saatnya kita membenahi paradigma pembelajaran. Dosen tidak hanya bertugas mentransfer ilmu, tapi juga membuka ruang untuk diskusi dan debat yang sehat. Mahasiswa harus diberi kebebasan dan kepercayaan untuk menyampaikan pandangan mereka bahkan jika itu berbeda dari dosennya. Institusi pendidikan juga perlu menyusun kebijakan yang mendukung budaya dialog, termasuk memberikan pelatihan kepada dosen untuk membangun kelas yang partisipatif.

 

Jika kampus ingin tetap relevan di abad ke-21, maka keberanian untuk berpikir kritis dan berbeda harus kembali dihidupkan. Karena dari perbedaan pikiranlah, ilmu pengetahuan tumbuh dan masyarakat bergerak maju.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *